Translate

Selasa, 13 Agustus 2013

Emak, Maafkan Anakmu Ini


Jeruji besi ini rasanya tak bisa menahan rasa rinduku pada emak tercinta, maafkan anakmu ini emak yang tidak bisa membahagiakanmu dihari yang bahagia ini.

Seperti kata pepatah “Menyesal kemuadian, tiada gunanya” dan “Nasi sudah menjadi bubur” itulah yang dapat ku istilahkan tentang kondisiku saat ini. Penjara ini menahan semua hasratku, keinginan berbakti pada orang tua dan salah dalam mengambil keputusan akhirnya penjaralah menjadi hukuman sebagai balasan atas perbuatanku.

Siang itu terik menghantam kulit hitamku yang makin menghitam, rasa dahaga dan lapar ku tak rasakan karena keadaan ini sudah menjadi bagian dari keseharianku. Aku bertekad harus mengumpulkan rupiah demi rupiah dari cucuran keringatku. Aku yang tidak tamat SD amat sulit mencari pekerjaan yang dapat menghasilkan rupiah yang banyak tetapi tetap ku tekuni pekerjaanku sebagai “Ganjur” (pekerja yang menurunkan ataupun menaikkan batu-batu besar sampai kecil dari dan ke truk yang memuat batu) di pangkalan batu pun sudah ku lakoni selama 7 tahun ini.

Rupiah demi rupiah dari upah sebagai ganjur kukumpulkan walau hanya dapat memenuhi kebutuhan makan aku dan emakku tapi aku harus mampu bertahan, mengingat kondisi emak yang sudah sakit-sakitan.

Sudah beberapa hari ini emak terbaring di tempat tidur reotnya yang tak beralas kasur karena buat kami kasur adalah benda mewah yang tak mampu kami beli. Hari ini ku coba membawa emak ke Puskesmas terdekat untuk memeriksakan kondisi emak yang semakin hari semakin melemas saja.

Obat warung sehabis pulang kerja senantiasa ku beli tetapi tidak dapat menyembuhkan kondisi emak. Dengan meninggalkan pekerjaanku berarti antara Rp 20.000-Rp 30.000,-, upahku dalam meng-ganjur akan hilang tetapi demi emak tercinta apapun akan ku lakukan.

Setelah memeriksakan kondisi emak pada dokter Puskesmas, secara khusus dokter memanggilku untuk membicarakan tentang kondisi penyakit emak. Menurut hasil pemeriksaan dokter, penyakit yang diderita emak belum dapat dokter pastikan karena harus ada pemeriksaan kelanjutan di rumah sakit. Masih menurut dokter, peralatan di Puskesmas tidak memadai untuk dapat mendiagnosa penyakit emak.

Dengan berbekal JamKesMas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) untuk keluarga miskin seperti aku dan emak dan berbekal sedikit uang yang ku tabung akhirnya ku bawa emak ke rumah sakit yang telah dirujuk pihak Puskesmas.

Alangkah mengejutkan dari hasil pemeriksaan lengkap dari rumah sakit, pihak dokter dari rumah sakit yang menangani emak mendiagnosa penyakit emak, bahwa emak mengalami komplikasi penyakit ginjal dan jantung. Ginjal emak sudah sangat parah dan entah dengan bahasa kedokteran yang tak ku pahami emak harus cuci darah serta bagian dari jantungnya mengalami kebocoran dan kata dokter bila tidak ditangani dengan lebih lanjut keadaan emak akan semakin parah.

Aku memasrahkan sepenuhnya pada pihak rumah sakit tetapi karena penuhnya ruang perawatan serta tidak lengkapnya peralatan untuk menangani penyakit emak di rumah sakit tersebut, aku pun diminta untuk mencari rumah sakit yang lebih lengkap agar penyakit emak dapat ditangani lebih baik lagi.

Aku mulai ragu dan berprasangka, jika akupun membawa ke rumah sakit besar bisa jadi merekapun akan mengatakan bahwa di rumah sakit yang akan ku datangipun akan mengatakan hal yang sama. Mengingat aku hanya berbekal Jamkesmas, rasanya sulit untuk dapat diterima oleh rumah sakit besar apalagi bila melihat kondisi penyakit emak yang tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Akhirnya untuk sementara ku bawa emak pulang ke rumah, sambil terus ku coba berikhtiar untuk mencari uang pinjaman kebeberapa teman dan saudara. Tetapi siapa yang akan memberi pinjaman kepadaku, untuk makanpun sangat sulit bila mereka meminjamkan uangpun dari mana aku harus membayarnya.

Semakin hari kondisi emak makin parah dan aku tak tega melihat kondisi emak. Entah datang dari mana fikiran tak sehatku pun mulai menari-nari diotakku yang tak cerdas ini.

Malam itu ku datangi sebuah rumah pedagang kaya, aku tahu haji Rodiah yang kaya raya tersebut banyak memiliki emas, emas yang dipakai ditubuhnya saja sudah seperti toko emas berjalan dan aku perkirakan emas yang ada di rumahnyapun masih banyak tersimpan.

Tak sulit aku untuk memasuki rumah haji Rodiah karena aku hapal betul seluk beluk rumah tersebut. Ku lihat haji Rodiah tertidur dengan pulas diranjangnya yang empuk dan ruangan ber-AC pula, aku tak ingin sampai haji Rodiah tahu perbuatanku dan tanpa ragu ku bekap bagian mukanya, haji Rodiah mulai meronta tetapi dia tidak dapat mengeluarkan suara apapun.

Malam itu begitu sunyi, ku genggam dengan erat hasil rampokanku malam ini. Sekantung perhiasan emas murni telah ku gondol dari rumah haji Rodiah. Aku berjanji esok pagi akan ku bawa emak ke rumah sakit agar dapat menangani penyakit yang saat ini emak derita.

Aku bahagia, emak dapat ditangani dengan baik oleh dokter terbaik pula. Dan ku tinggalkan emak pada pengawasan dan perawatan rumah sakit, aku katakan pada eemak bahwa aku harus bekerja agar dapat mengumpulkan uang kembali untuk perawatan emak di rumah sakit.

Dengan senyumnya yang sangat tulus, emak mencium keningku dan mendoakanku agar menjadi anak yang soleh.

Hari itu ku mantapkan langkahku, aku harus mempertanggung jawabkan semua perbuatanku dan di kantor polisi aku akui semua perbuatanku terhadap haji Rodiah.

Vonis atas perbuatanku adalah 10 tahun penjara, waktu yang sangat lama untuk diam dibalik jeruji besi ini.
Hari ini aku mendapat kunjungan dari salah seorang rekan kerjaku di pangkalan batu, dia menceritakan kondisi emak semakin parah dan terus menanyakan keberadaanku.

Rasa bersalah dan rindu menjadi satu, apa yang harus ku lakukan agar dapat melihat kondisi emakku?. Entah memang kontrol dan penjaga dari lembaga pemasyarakatan itu kurang ketat atau memang sedang lengah atau mungkin Tuhan memberiku jalan untuk bertemu dengan emak. Akhirnya aku berhasil meloloskan diri dari lembaga pemasyarakatan dimana aku ditahan untuk menjalani hukumanku.

Ku peluk dan ku cium emakku yang sudah tak sadarkan diri, ku genggam erat tangannya yang kurus dan lemah. Ku bisikkan kata pada emak, “Emak, Rohim datang..Rohim mohon ampunan dari emak...besok hari lebaran, Rohim bawakan kain baru untuk emak”. Entah emak mendengar atau tidak, terlihat titik air mata disudut mata emak dan masih ku rasakan genggaman erat tangan emak dijemariku.

Kumandang takbir terus bergema, Allahu akbar...Allahu akbar..Walilahilham...semakin bersahutan terdengar disetiap penjuru masjid. Semakin ku peluk erat tubuh emak yang mulai mendingin.

Ya Tuhan ampuni aku...emak, maafkan anakmu ini.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar