Namaku Titin Sulistiawati, aku lahir di Jakarta pada
6 Mei 1971, abahku
almarhum (panggilan ku
pada orang tua laki-laki) seorang ABRI-AD terakhir dengan pangkat Sersan Mayor
dan emakku
almarhumah (panggilanku
pada orang tua yang perempuan) hanya eorang ibu rumah tangga yang mengasuh
anak-anaknya.
Aku dua belas (12 orang) bersaudara, walau pun kami
12 orang bersaudara orang tua kami mendidik dengan pendidikan yang cukup. Dari
12 orang bersaudara, sembilan diantaranya Sarjana (S1 dan S2),
satu orang D1, dan dua orang lainnya lulusan SMA.
Kami senantiasa dididik oleh orang tua kami dengan
penuh kasih sayang, disiplin dan penuh tanggung jawab, tentunya dengan bidang
sosialpun banyak diarahkan oleh orang tua kami.
Aku sendiri anak kesembilan dari duabelas
bersaudara, semenjak kecil aku bercita-cita menjadi seorang guru, dimulai pada
kelas V SD aku melihat tayangan dari
TVRI (pada saat itu hanya ada satu siaran TV) yang menayangkan acara “Guru di
SLB (Sekolah Luar Biasa)”, pada saat itu tayangan di TVRI mngenai acara
tersebut mengupas tentang kegiatan seorang guru untuk Anak Cacat (Anak
Berkebutuhan Khusus pada saat ini). Dalam tayangan tersebut anak cacat/anak
berkebutuhan khusus dididik dengan penuh kasih sayang dan perhatian oleh sang
guru, sehingga menimbulkan rasa empati pada diriku.
Tayangan tersebut menginspirasi cita-citaku untuk menjadi guru anak
berkebutuhan khusus.
Sampai dengan
saat SMP, aku dalam mencatat dalam buku minat dan bakat ku bahwa aku
bercita-cita menjadi guru untuk anak berkebutuhan khusus dan itu mengundang
pertanyaan dari guru SMP ku, mengapa aku bercita-cita menjadi guru untuk anak
berkebutuhan khusus, aku menjelaskan bahwa aku ingin menjadi guru anak
berkebutuhan khusus karena anak-anak cacatpun membutuhkan
hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang seperti anak lainnya.
Mendengar penjelasanku itu, guru ku di SMP
menjelaskan bahwa aku harus rajin belajar dan ikhlas bila mendidik anak seperti
itu.
Pendidikanku setelah lulus SMP dilanjutkan pada
jenjang berikutnya yaitu SPG (Sekolah Pendidikan
Guru) setara dengan SMA. Di SPG keinginanku menjadi guru anak berkebutuhan
khusus semakin tinggi dan banyak sekai pertanyaan-pertanyaan yang aku ajukan
pada guruku mengenai apa defini, klasifikasi, karekteristik dan lain sebagainya
yang berhubungan dengan anak berkebutuhan khusus. Banyak sekali pertanyaanku
yang sulit dijawab oleh beliau karena guru yang mengajarkan pelajaran BP/BK
bukan dari Pendidikan Luar Biasa. Akhirnya beliau mengarahkanku selepas aku
dari SPG baiknya aku melanjutkan ke Perguruan tinggi dengan jurusan PLB
(Pendidikan Luar Biasa).
Tahun pertama mengikuti SIPENMARU (Sistem Penerimaan
Mahasiswa Baru), aku gagal tapi aku terus belajar dari kegagalanku karena tahun
depan aku masih mempunyai kesempatan untuk mengikuti ujian ke PTN yang ada
jurusan PLB (Pendidikan Luar Biasa). Sambil mengisi waktu luangku yang tersisa
1 tahun aku mengikuti Bimbingan Belajar agar bisa masuk PTN yang diinginkan
sambil nyambi mengajar di SD swasta menjadi guru honorer sekaligus kuliah di D1/PGTK
Cut Muthia. Atas rahmat
Allah dan usahaku untuk terus mencapai cita-citaku, akhirnya aku diterima di Universitas Negeri Jakarta/IKIP Jakarta jurusan PLB (Pendidikan Luar Biasa) pada tahun 1990. Empat tahun lebih aku berjuang agar
kuliah ku cepat selesai, dengan uang bulanan yang diberikan oleh orang tua ku
yang setiap bulannya kurang mencukupi untuk memenuhi kebutuhanku, aku tidak
kecewa karena orang tuaku memang masih banyak dari saudara-saudaraku yang
membutuhkan biaya yang sama sepertiku.
Sambil kuliah aku bekerja untuk memenuhi kebutuhanku
dengan memberikan les pada anak-anak berkebutuhan khusus, berjualan bahkan menjual
diktat dosen terbaikku (Bapak Totok Bintoro) tentunya atas izin beliau dan
uangnya penuh beliau berikan untukku tanpa sepeserpun beliau memintanya, ini
kata-kata beliau padaku “Tin, kamu pasti membutuhkan uang itu,
gunakan uang itu untuk kamu”, sungguh uang itu memang bermanfaat untuk
menyelesaikan kuliahku
dengan demikian kebutuhanku dapat terpenuhi dengan hasil jerih payahku dan bantuan dosen-dosenku
terutama bapak Totok Bintoro.
Pak Totok Bintoro, memahami saat aku dalam kedaan krisis
keuangan dengan tiba-tiba dia sering memberiku uang atau mengajakku makan di
KANSAS (Kantin Sastra di IKIP Jakarta). Tak lepas juga dengan empat sahabatku
yang sangat baik hati juga sangat sering membantu keuanganku disaat aku
kesulitan, adalah Nani Triani, S.Pd., M.Psi. (Pengawas SLB Provinsi Jawa Barat)
dia adalah sosok sahabat panutanku cerdas, sederhana, baik hati, tidak sombong,
peramah, sopan dan yang pasti baik hatinya. Setiap aku kesulitan keuanganpun
beliau selalu paham padaku dan yang pasti selalu memberikan dorongan dan
bantuan pada saat masa perkuliahanku. Begitupun dengan Mustafeng, M.Pd. (Guru
di SLBN Cileunyi dan suami dari Nani Triani), Ana Fatwiati, Kommaruzaman merekalah
sosok yang berpengaruh saat masa-masa kuliahku.
Aku dan Sahabatku
Pada tahun 1995, akhirnya aku lulus dan diwisuda dan
pada saat diwisuda aku telah menikah dan telah hamil enam bulan.
Setelah melahirkan aku mengajar di sekolah umum
tidak di SLB (Sekolah Luar Biasa) karena pada saat itu SLB belum begitu banyak
sehingga aku sulit menemukan SLB yang dekat dengan tempat tinggalku tapi itu
semua tidak menyurutkanku untuk tetap bercita-cita mendidik anak-anak
berkebutuhan khusus.
Tahun berganti, aku hijrah dari Jakarta ke daerah
Parungpanjang kabupaten Bogor pada tahun 2001, mengikuti tugas suamiku yang
pada saat itu menjadi PNS dan yang di tempatkan di daerah tersebut. Di
Parungpanjang ini belum ada sekolah khusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus.
Pada tahun 2002 dengan modal menjual perhiasan lamaran suamiku dulu akhirnya
aku membuat tempat terapi untuk anak autis, setahun berlalu kebutuhan akan
sekolah untuk anak-anak terapiku semakin mendesak dan akhirnya aku membuat SLB
(Sekolah Luar Biasa) dengan modal meminjam pada Bank Jawa Barat-Banten sebagai
modal membuat sekolah, tetapi karena kebutuhan terus mendesak akhirnya kamipun
menjual satu-satunya rumah kami (hadiah dari bapak presiden Soeharto pada tahun 1997,
sebagai tanda jasa kepadaku guru honorer) yang di Jakarta untuk modal memperluas bangunan
sekolah yang kami dirikan (aku dan suami).
Perkembangan jumlah murid cukup signifikan terjadi
kenaikan tapi ternyata dari siswa-siswi yang bersekolah di tempat kami,
sebagian besar terdiri dari anak-anak dari golongan kurang mampu secara
ekonomi. Dengan demikian menggugah aku untuk membuat sekolah gratis untuk anak
berkebutuhan khusus.
Perjalananku dalam mendirikan sekolah SLB ini bukan tanpa
rintangan, saat itu sekolah yang aku dirikan masih mengontrak karena kami
kesulitan dana untuk membayar uang kontrakan yang sudah jatuh tempo, kami
diminta untuk keluar dari Ruko yang kami sewa dan pemilik memberikan waktu
hanya satu minggu untuk membereskan semua peralatan kami. Sungguh pengalaman
yang mengharu biru. Aku dan suami bekerja keras untuk mendapatkan pinjaman. Tapi
karena keterbatasan kami, kami belum mendapatkan pinjaman. Tetapi Allah berkata
lain, Allah memberi kemudahan pada kami dengan melalui jalan yang tidak kami duga, kami mendapatkan bantuan sebesar Rp
100.000.000,-
atas rekomendasi dari bapak Dedy Kustawan, M.Pd yang pada saat itu pengawas di
SLB Ayahbunda dan akhirnya
uang tersebut kami langsung gunakan untuk mendirikan bangunan yang saat ini kami
tempati.
Perjuangan Mendapatkan Gedung untuk SLB Ayahbunda
Kesulitan masih didepan mata kami, karena jumlah
murid yang banyak otomatis kebutuhan akan gurupun banyak tetapi kemampuan kami
dalam memberikan uang honor pada guru-guru kami kurang memadai, tapi kembali
Allah Maha Pengasih. Suamiku dengan ikhlas memberikan sisa uang gajinya untuk
membayarkan uang honor guru di sekolah kami.
Sudah menjadi kebiasan sekolah kami dalam satu
sekali minimal kami mengadakan penjaringan maksudnya adalah kami datang ke
beberapa tempat di sekitar Kecamatan Parungpanjang untuk menjaring data
banyaknya anak berkebutuhan khusus di Parungpanjang, agar kami bisa memberikan
penjelasan pada orang tua, masyarakat ataupun pemerintahan di lingkungan kecamatan
Parungpanjang tentang keberadaan anak berkebutuhan khusus agar dapat hak yang
sama dalam segala hal terutama pendidikan seperti anak lainnya.
Pekerjaan dan perjuangan yang keras dalam
menjalaninya tapi aku, suami dan rekan-rekan guru di SLB Ayahbunda tetap
berusaha mensosialisasikan pada masyarakat. Bukan tidak ada hambatan saat kami
mengadakan penjaringan dan sosialisasi tapi banyak hambatannya selain dana yang
kurang memadai seringkali langkah kami surut karena orang tua yang memiliki
anak berkebutuhan khusus tidak menerima kami. Memang bukan hal yang mudah untuk
bisa diterima tetapi dengan ketekunan dan kesabaran akhirnya saat ini
masyarakat Parungpanjang sudah banyak memahami tentang manfaat pendidikan untuk
anak berkebutuhan khusus.
Buat kami hambatan bukan menghambat atau terhambat tapi “hambatan”
adalah strategi pencapaian untuk mewujudkan cita-cita, harapan, mimpi-mimpi
bahkan ide yang “berseliweran” dibenakku.
Tidak sampai disini pekerjaan kami PR kami tentang
bagaimana “Memberikan Pendidikan dan Layanan Khusus” adalah pekerjaan
tersendiri yang membutuhkan waktu, tenaga, fikiran, keuangan, keikhlasan dan
tentunya kesabaran. Aku dan rekan-rekanku di SLB Ayahbunda belajar terus untuk
terus meningkatkan pelayanan kami maupun pengetahuan untuk meningkatkan
pelayanan untuk anak berkebutuhan khusus.
Dana yang tidak mencukupi menjadi kendala utama kami
dalam memberikan pelayanan pada anak berkebutuhan khusus di sekolah yang saat
ini ku pimpin. Dengan jumlah siswa pada tahun 2012 ini sebanyak 84 siswa adalah pekerjaan selanjutnya karena aku harus
menambah tenaga pengajar tapi bila tenaga pengajar kami tambah otomatis
berhubungan dengan honor yang harus kami siapkan.
Anak-anak didikku
Liku-liku perjalanan kami masih mengalir deras seperti arusnya
aliran sungai saat musim penghujan tiba. Liku-liku adalah warna dalam kehdupan
yang semarak dalam menjalani dan menapaki perjalananku membesarkan SLB
Ayahbunda. Arus deras adalah rasa yang menggugah jiwa untuk terus bertahan
menghalau semua penghalang atau hambatan, tidak ada yang sulit bagi kami selama
kami memiliki keyakinan yang luas dan kuat bahwa kami ada pada jalan dan
langkah yang benar.
Terjatuhpun sudah berulang kali aku “nikmati”, terjerat
dengan hutang-hutang dan hutang yang ku lakukan untuk membayar operasional
sekolah pun aku lakukan. Bahkan cemooh yang menyakitkan pun sering aku dengar,
bahkan telunjuk menghujam hatiku pu sering aku dapat.
Seseorang pernah mengatakan padaku, “kalau memang belum
kaya, kenapa mesti membiayai orang-orang miskin untuk sekolah GRATIS kalau
terus harus berhutang”. Dan yang aku sendiri tak habis fikir, aku tak pernah
sakit hati dengan kata-kata itu. Aku hanya berkeyakinan bahwa aku pasti mampu
melunasi semua hutang-hutangku itu. Allah Maha Pemberi, Alhamdulillah dengan
keyakinanku dan tekad yang kuat sedikit demi sedikit, tahap demi tahap akhirnya
hutangku telah banyak yang terlunasi walapun masih ada hutang yang tersisa tapi
aku yakin Allah Maha kaya dengan perjuangan yang keras aku yakin PASTI dapat
menyelesaikan semua hutang-hutangku.
Uang sertifikasi aku dan suamiku, sebagian kami gunakan
untuk membayar hutang-hutang kami, walaupun ada yang mengatakan bahwa aku bisa
memiliki mobil mewah dari uang jerih payahku dan suami tapi untuk apa sebuah
mobil mewah bila aku masih menemukan anak-anak terlantar dan anak-anak
berkebutuhan khusus belum terlayani dengan baik?
Buatku kemewahan adalah prestise dunia yang tak akan
abadi tapi yang ku kejar adalah prestise dari Allah yang sudah banyak memberi
kenkmatan pada kita. Untuk apa kenikmatan itu kita nikmati sendiri bila ada
disekitar kita masih membutuhkan uluran tangan kita? Begitupun dengan kalung,
cincin dan gelang yang pernah ku miliki sampai 100 gram lalu ku jual untuk
membesarkan sekolah Ayahbunda, lebih bermanfaat dari pada ku kenakan atau ku
simpan hanya menjadi bahan perhiasan tubuh sementara ada anak-anak khusus yang
membutuhkan sekolah khusus yang terlayani dengan baik.
Pendidkan S2 pun pernah aku “nikmati” di PKh Pasca
Sarjana UPI pada tahun 2008, tapi melanjutkan kuliah S2 adalah dilema panjang
buatku. Antara dua pilihan, bila aku lanjutkan S2 ku maka keuangan operasional
sekolah akan terganggu karena masih bergantung pada keuangan aku dan suamimu
akhirnya aku memilih untuk meninggalkan perkuliahan agar uang deposito untuk
kuliah S2 aku gunakan untuk membiayai operasional sekolahku.
Aku memang tak memiliki mobil mewah sebagai kendaranku,
aku pun tak memiliki perhiasan emas sebagai penghias tubuhku, akupun tak bisa
menyandang gelar S2ku, aku pun tak memiliki lagi deposito yang dulu aku
banggakan tapi aku bahagia dengan anak-anak khusus di sekolah khusus yang aku
kelola jadi untuk apa semua kenikmatan dunia itu bila ada dan masih banyak orang-orang disekitar kita sulit
untuk medapatkan pelayanan dan pendidikan khusus?
Aku bahagia dengan keluargaku yang ikhlas dan terus
mendorong perjuanganku, aku bahagia dengan guru-guru Ayahbunda yang ikhlas
mendampingiku, aku bahagia dengan orang tua dengan anak-anak khusus didikanku
yang dapat mengenyam pendidikan di Ayahbunda, aku bahagia dunia dan akhiratku.
Catatan :
Tulisan ini didedikasikan untuk orang-orang yang telah
banyak membantu perjuanganku. Terimakasih kepada :
1.
Terima kasihku kepada abah dan emak almarhum, dan saudara-saudaraku yang telah mempercayakan
kepadaku mengenyam Pendidikan Luar Biasa walau awalnya mula sangat “bingung”
dengan pilihan pendidikanku.
2.
Terimakasihku untuk suamiku (Dedi Rahmat Hidayat), anak-anakku Adinda
Fauziah Juliana, Fauzan Lazuardi dan Citra Fauza Ditheea kalian yang telah
memberi dorongan kepadaku.
3.
Bapak Dedy Kustawan, M.Pd. yang telah memberikan peluang dan dorongan
kepadaku untuk terus berkarya di dunia Pendidikan Luar Biasa.
4.
Bapak Totok Bintoro (dosenku di IKIP Jakarta)
5.
Nani Triani, S.Pd.,M.Psi., Mustafeng, M.Pd., Ana Fatwiyati, S.Pd.,
Kommaruzaman, S.Pd. terima kasih sudah memberi warna dalam kehidupanku.
6.
Ibu Neneng Nurwiati, S.Pd.,M.M. (Kepala SLBN Cibinong) yang tak pernah
bosan membantuku materi dan dorongan serta kekuatan.
7.
Bapak Drs. Asep Ading SH., M.M. (Pengawas SLB provinsi Jawa Barat) yang
senantiasa mengarahkanku.
8.
Ibu Nunung Djumarningsih, S.Pd. M.M (Kepala SLB Tunas Kasih I), tak bosan
memberi dorongan dan arahan serta bantuan.
9.
Guru-guruku di Yayasan Ayahbunda tercinta tanpa kalian aku bkan apa-apa dan
siapa-siapa.
10. Para Donatur ataupun bantuan
dari APBD dan APBN yang telah ikut serta membesarkan SLB Ayahbunda.
Para sahabat semua yang tak akan bisa ku lupakan
yang telah banyak membantu secara materi dan semangat untuk lebih maju.