Translate

Rabu, 31 Oktober 2012

“TANGISKU HANYA MILIK ALLAH”

Kisah Seorang Sahabat : “Tangisku Hanya Milik Allah”


    “TANGISKU HANYA MILIK ALLAH”

    Kisah hidupku tak seindah senyum manisku. Semua mengatakan bahwa aku wanita yang paling bahagia. Tak pernah ku tolak itu semua karena memang aku bahagia. Bahagiakah aku? Entahlah aku pun sulit untuk menjawabnya. Tapi betul aku tidak pernah terlihat sedih, aku selalu tersenyum. Tap pernah ku perlihatkan bahwa aku memiliki segudang masalah dalam hidupku.
    Awal pernikahan kami, aku dan calon suamku berkomitmen bahwa saat mengarungi bahtera pernikahan kami dan salah satu dari kami mencintai WIL ataupun PIL, maka kami harus berterus terang, jujur dan tentunya sepakat untuk berpisah. Walau pada saat itu calon suamiku mengatakan bahwa tak ada yang bisa menggantikan posisiku dihatinya. Tapi aku mohon bahwa kejujuran itu indah walaupun menyakitkan.
    Akhirnya kami menikah dengan restu kedua belah pihak. Pernikahan kami, kami lalui dengan rasa syukur akhirnya cinta kami berakhir di pelaminan. Pada saat pesta pernikahanku ada kejanggalan yang ku rasakan pada suamiku, saat ada seorang wanita yang memberi ucapan selamat pada dia, ku lihat dia seperti menyembunyikan sesuatu (perasaan kewanitaanku mengatakan) tapi ku coba menepis itu semua.
    Tibalah saatnya aku harus bertemu dengan keluarga besar keluarga dari suamiku, setelah satu minggu pernikahan kami. Aku sangat bahagia menjadi bagian dari keluarga besar suamiku. Kebiasan pada umumnya di masyarakat kami pada hari itu disebut dengan “Ngunduh mantu”. Semua persiapan sudah dilakukan untuk acara ngunduh mantu mulai dari kue-kue tradisional, makanan-makanan untuk para tamu sampai dengan ranjang pengantin kami semua sudah dipersiapkan. Sebagai layaknya para wanita yang lain aku pun dengan gesitnya ikut membantu persiapan untuk acara “Ngunduh Mantu” tersebut. Sambil aku membantu semua persiapan, aku heran ada wanita yang sama saat pernikahan ku datang pula di acara “Ngunduh Mantu” itu, saat dia datangpun sudah disambut dengan amat suka citanya oleh mertua perempuanku beserta keluarga besarnya. Aku menanyakan tentang keberadaan dia dan mertuaku menjelaskan bahwa dia adalah keluarga suami ku juga karena aku yang pandai menghapal setiap susunan keluarganya lalu aku menayakan keluarga dari pihak manakah dia. Mertuaku menjawab dengan agak terbata, tapi aku kembali menepis setiap prasangka yang ada dalam fikiranku.
    Persiapan ngunduh mantu itu diwarnai dengan canda tawa kami, begitu pula dengan suamiku dan perempuan itu, mereka becanda berdua seakan mereka sepasang kekasih. Kecurigaanku semakin ku tekan sampai…
    Subhanallah..aku menemukan suamiku sedang berpelukan dengan perempuan itu di ranjang pengantin kami, aku terkejut tapi ku tekan perasaan ku karena saat itu adalah awal dari perkenalan dengan keluarga besarnya. Aku kecewa tapi aku tidak menangis aku tetap tersenyum bahwa suamiku tetap milikku.
    Larut telah tiba, saat perempuan itu akan pulang yang rumahnya sedikit jauh dari rumah mertuaku, mertuaku meminta suamiku untuk mengantarnya pulang tapi karena aku masih baru sebagai anggota keluarga tersebut, aku tidak protes. Ku biarkan walau sakit rasanya.
    Sampai beberapa hari ke depan perempuan itu masih selalu berada di rumah mertuaku, entah pagi, kadang sore atau kadang malam. Kecurigaanku semakin mendekati titik kebenaran sampai akhirnya ku temukan kembali suamuku sedang berdua dengan dia. Aku tetap diam tapi ku layangkan protes pada mertuaku. Aku katakan pada mertuaku bahwa aku tidak suka ada perempuan itu di rumah ini walau aku tahu ini bukan rumahku tapi aku berhak untuk meminta perempuan itu tidak ada disini karena setelah aku desak mertuaku, dia bercerita bahwa perempuan itu adalah mantan tunangan dari suamiku. Tidak ada kejelasan yang pasti mengapa mereka tidak jadi menikah malah menikah denganku. Tapi yang pasti mereka sudah menganggap bahwa perempuan itu adalah anaknya juga. Lalu ku pertanyakan apakah selama ini aku tidak dianggap anak oleh mereka yang sudah menikah dengan anaknya? Aku katakan pada mertuaku bahwa aku sudah menikah dengan anaknya dan saat ini aku adalah istri dari anak mereka dan aku berkewajiban untuk mempertahankan rumah tanggaku dari gangguan-gangguan yang tak menyenangkan. Dan tak akan ku pertahankan dia (suamiku bila kami masih belum menikah). Akhirnya mertua dan suamiku menerima semua kata-kataku.
    Setahun setelah pernikahan kami akhirnya aku melahirkan bayi yang cantik dari pernikahan kami, kami lalui tanpa ada rintangan yang berarti. Masa-masa tahun keempat dalam pernikahan kami kembali aku diguncang dengan prahara lain. Suamiku kembali dekat dengan seorang perempuan teman kuliah kami dulu. Padahal waktu itu aku sedang hamil sembilan bulan. Aku menemukan suamiku sedang berpelukan dengan teman kami itu, walau dia mengelak bahwa tidak ada hubungan apa-apa tapi gelagat mereka berbeda, dia mulai jarang pulang dan selalu ke rumah teman kami dengan alasan bahwa dia butuh pertolongan, padahal aku pada saat itu sedang hamil besar dan butuh kasih-sayang, perlindungan dan bantuan dari dia, bukan perempuan itu.
    Aku meminta suamiku untuk kembali padaku dan akhirnya dia pun berjanji untuk kembali pada ku dan saat itu dia berjanji atas nama Allah, Rasul diatas al-quran bahwa sampai kapanpun tidak akan mengkhianatiku dan bila dia sampai mengkhianatiku dia berani termakan oleh sumpahnya.
    Akhirnya aku melahirkan seorang bayi laki-laki yang lucu.kamipun tetap menjalani rutinitas kehidupan kami sampai akhirnya suamiku diterima menjadi PNS disuatu tempat yang agak terpencil, aku diminta untuk mengikuti dia tapi karena aku terbiasa hidup di kota rasanya aku sulit untuk mengikutinya. Aku menunggu waktu satu tahun untuk bisa ikut dengan suamiku. Kejanggalan sering terjadi, dia bercerita saat di daerah tidur di rumah temannya. Tapi suatu saat anak kami sakit dan tentunya aku harus memberi kabar suamiku. Tapi alangkah kecewanya aku ternyata suamiku tidak pernah ada di rumah temannya, malah menurut dia beberapa hari ini tidak masuk.
    Sungguh aku kecewa dan sedih tapi ku biarkan air mataku menjadi milikku sendiri. Sampai dia datang kemudian aku tanyakan dia menginap dimana dia katakan dia menginap di rumah teman. Apakah aku marah pada saat itu? Tidak aku hanya bilang Oh.
    Akhirnya karena banyaknya laporan tak indah ditelingaku, aku mengikuti jejak suamiku untuk hijrah ke daerah. Di sini aku bahagia karena dekat terus dengan suami dan anak-anakku dan aku berharap suamiku bisa menyadari akan kesalahannya.
    Aku diperkenalkan dengan teman-teman rekan kerjanya, aku senang ada teman baru di tempat ini. Tapi kembali naluri kewanitaanku berontak, dia dekat salah satu orang rekan kerjanya, terlihat akrab yang sangat berbeda tapi kembali ku usir perasaan itu.
    Hari berganti, keganjilan itu semakin terlihat dan nyata. Aku banyak menemukan foto-foto “HOT” mereka tapi apakah aku menangis? Tidak, aku hanya ambil foto itu dan ku bakar. Dia tidak pernah merasa kehilangan sesuatu dihadapanku walau dia seringkali ku lihat mencari-cari sesuatu. Sampai akhirnya akupun menemukan surat cintanya, apakah aku menangis? Tidak, kertas itu aku ambil dan ku simpan untuk mengumpulkan bukti-bukti perselingkuhannya.
    Sampai akhirnya suatu pagi aku kedatangan perempuan itu dan dia menceritakan semua hubungannya dengan suamiku. Tentang perjalanan perselingkuhan mereka dengan detil dia ceritakan. Apakah aku menangis saat itu? Tidak, aku hanya katakan pada perempuan itu bahwa aku akan tanyakan tentang kebenaran berita yang dia bawa, perempuan itu mengatakan bahwa dia akan menikah dengan suamiku karena suamiku harus bertanggung jawab terhadap apa yang sudah mereka lakukan bersama. Apakah aku menangis pada saat itu? Tidak, aku tidak menangis.
    Aku datangi rumah perempuan itu dan aku membawa anak-anakku yang masih kecil. Aku katakan pada orang tuanya bahwa aku istri dari calon suami anaknya dan aku meminta mereka untuk mengagalkan rencana pernikahan suamiku dengan anaknya. Dan apakah aku menangis saat meminta suamiku pada orang tuany calon sitri suamiku? Tidak, aku tidak menangis.Aku bersyukur suamiku tidak jadi menikah dengan dia dan dia kembali bersumpah atas nama Allah, rasul dan Al-Quran bahwa dia tidak akan mengkhianatiku sampai kapanpun, tidak akan jalan bersama lagi dengan perempuan itu kalau sampai terjadi truk tronton berisi batu besar akan menimpaku. Aku tidak pernah meminta dia untuk bersumpah tapi dia melakukannya atas kehendak dirinya. Apakah aku percaya dengan kata-katanya? Ya, aku sangat-sangat percaya.
    Tahun berganti, akhirnya perempuan itu menikah dan aku bersyukur dengan begitu tak ada lagi yang menggangguku. Aku kembali akrab dengan perempuan itu dan perempuan itu sudah mulai kembali bermain di rumahku. Aku anggap dia adikku karena lebih muda dariku. Tapi isu diluaran terus berkembang bahwa banyak orang yang sering melihat suamiku dengan dia, tapi aku tidak percaya karena dia sudah bersuami, mana mungkin dia “jalan” kembali dengan suamiku. Isu itu semakin nyata dan menyakitkan, sampai aku temukan suamiku sedang berciuman di kantornya dan aku melihat langsung perbuatannya bukan kata orang lain yang selama ini santer terdengar tentang perselingkuhan suamiku. Apakah pada saat itu aku marah? Apakah pada saat itu aku menjerit? Apakah pada saat itu aku mengamuk? Apakah pada saat itu aku menangis? TIDAK, aku TIDAK melakukan apapun dan aku tidak menangis. Aku hanya pergi begitu saja…..
    Sudah cukup semua pengkhianatan suamiku dan aku sudah tidak perduli lagi dengan semuanya, aku hanya menyusun langkah-langkah hidupku dan anak-anakku, bila dia kembali ke rumah aku bersyukur bahwa dia masih mengingat kami. Bila dia tidak kembali ke rumah tidak menjadikan beban untukku. Anak-anakku semakin besar, mereka tahu mana yang benar dan mana yang salah, sampai akhirnya anakku mengetahui dengan detil semua perselingkuhan ayahnya. Anakku menuntut aku untuk menyelesaikannya karena dia tidak mau jadi bahan hinaan teman-temannya atas perbuatan ayahnya.
    Akhirnya ku bongkar semua pengkhianatan suamiku selama ini padaku tapi apa yang ku dapat? Aku diseret seperti anjing, rambutku dijambak dan kepalaku dia bentur-benturkan diatas aspal, ditengah jalan aku diseret persis seperti anjing beludak, kepalaku berdarah, pipiku lebab oleh pukulan dan tendangannya, bibirku pecah dan tak ada satupun yang menolong aku, semua rumah menutup pintu karena ancaman suamiku..”Siapa saja yang berani menolong perempuan sundal ini akan aku bunuh”. Apakah ada yang menolong aku? Tidak, sampai akhirnya ku kumpulkan seluruh kekuatanku untuk bisa lepas dari genggamannya dan aku lari ke dalam rumah seorang teman, ku tutup rapat pintu rumahnya dan aku memohon mereka untuk menolong aku. Aku memelas pada mereka selamatkan aku agar aku bisa melihat anak-anakku.
    Tuhan menyentuh hati temanku dan dia berani menentang suamiku dengan mengatakan bahwa dia akan lapor polisi bila sampai merusak rumahnya. Aku diselamatkan oleh mereka dan setelah beberapa lama aku diminta untuk kembali oleh RT dan RW serta sesepuhan masyarakat itu, aku didamaikan dan suamiku berjanji untuk tidak melakukan perbuatannya kembali.
    Akhirnya aku kembali dengan suamiku masih dengan pengkhianatan yang sama, aku mulai harus bisa berontak aku harus mampu memperjuangkan hidupku.
    Apakah benar suamiku kembali padaku? Tidak, dia masih kembali dengan perempuan itu. Apakah aku menangis? Tidak.
    Dari semua yang aku ceritakan, Apakah orang lain pernah melihatku menangis? Tidak, aku selalu tersenyum dalam dukaku. Kemanakah air mataku? Air mataku hanya milik Allah semata, Aku bercerita semua pada Allah tentang kesedihanku, tentang deritaku, tentang penistaan terhadap diriku, tentang pengkhianatan pada diriku. Karena aku milik Allah semua ku kembalikan padanya.
    Aku tak peduli dengan kata-kata orang bahwa aku bodoh mau kembali pada suami yang sudah memperlakukan istrinya seperti binatang dan mengkhianatinya terus menerus.
    Dari semua yang ku ceritakan di atas, apakah aku menyalahkan suamiku? Tidak. Apakah aku yang salah? Bisa jadi..
    Dari semua kisah diatas, semoga menjadi pembelajaran untuk kita semua,
    Aku mencintai suamiku walau dia mengkhianatiku..
    Aku mencintai suamiku walau dia menyakitiku..
    Aku mencintai suamiku walau dia menghinaku..
    Aku mencintai suamiku walau dia menyiksaku..
    Aku mencintai suamiku walau dia membenciku..
    Haruskah aku menyesali semuanya? Tidak
    Haruskah aku meninggalkannya? Tidak
    Haruskah aku meratapi semua? Tidak
    Aku adalah milik Allah, biarkan Allah yang menentukan hidupku.
    Buat : Sahabat-sahabat..semoga yang mengalami seperti cerita
    diatas, jangan bersedih ada Allah didekatmu. Hikz…jadi
    nangis aku bacanya….
     


    Titin Sulistiawati

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar