Jeruji besi ini rasanya tak bisa
menahan rasa rinduku pada emak tercinta, maafkan anakmu ini emak yang tidak
bisa membahagiakanmu dihari yang bahagia ini.
Seperti kata pepatah “Menyesal
kemuadian, tiada gunanya” dan “Nasi sudah menjadi bubur” itulah yang dapat ku
istilahkan tentang kondisiku saat ini. Penjara ini menahan semua hasratku,
keinginan berbakti pada orang tua dan salah dalam mengambil keputusan akhirnya
penjaralah menjadi hukuman sebagai balasan atas perbuatanku.
Siang itu terik menghantam kulit
hitamku yang makin menghitam, rasa dahaga dan lapar ku tak rasakan karena
keadaan ini sudah menjadi bagian dari keseharianku. Aku bertekad harus mengumpulkan
rupiah demi rupiah dari cucuran keringatku. Aku yang tidak tamat SD amat sulit
mencari pekerjaan yang dapat menghasilkan rupiah yang banyak tetapi tetap ku
tekuni pekerjaanku sebagai “Ganjur” (pekerja yang menurunkan ataupun menaikkan
batu-batu besar sampai kecil dari dan ke truk yang memuat batu) di pangkalan
batu pun sudah ku lakoni selama 7 tahun ini.
Rupiah demi rupiah dari upah sebagai
ganjur kukumpulkan walau hanya dapat memenuhi kebutuhan makan aku dan emakku
tapi aku harus mampu bertahan, mengingat kondisi emak yang sudah sakit-sakitan.
Sudah beberapa hari ini emak
terbaring di tempat tidur reotnya yang tak beralas kasur karena buat kami kasur
adalah benda mewah yang tak mampu kami beli. Hari ini ku coba membawa emak ke
Puskesmas terdekat untuk memeriksakan kondisi emak yang semakin hari semakin
melemas saja.
Obat warung sehabis pulang kerja
senantiasa ku beli tetapi tidak dapat menyembuhkan kondisi emak. Dengan
meninggalkan pekerjaanku berarti antara Rp 20.000-Rp 30.000,-, upahku dalam
meng-ganjur akan hilang tetapi demi emak tercinta apapun akan ku lakukan.
Setelah memeriksakan kondisi emak
pada dokter Puskesmas, secara khusus dokter memanggilku untuk membicarakan
tentang kondisi penyakit emak. Menurut hasil pemeriksaan dokter, penyakit yang
diderita emak belum dapat dokter pastikan karena harus ada pemeriksaan
kelanjutan di rumah sakit. Masih menurut dokter, peralatan di Puskesmas tidak
memadai untuk dapat mendiagnosa penyakit emak.
Dengan berbekal JamKesMas (Jaminan
Kesehatan Masyarakat) untuk keluarga miskin seperti aku dan emak dan berbekal
sedikit uang yang ku tabung akhirnya ku bawa emak ke rumah sakit yang telah
dirujuk pihak Puskesmas.
Alangkah mengejutkan dari hasil
pemeriksaan lengkap dari rumah sakit, pihak dokter dari rumah sakit yang
menangani emak mendiagnosa penyakit emak, bahwa emak mengalami komplikasi
penyakit ginjal dan jantung. Ginjal emak sudah sangat parah dan entah dengan
bahasa kedokteran yang tak ku pahami emak harus cuci darah serta bagian dari
jantungnya mengalami kebocoran dan kata dokter bila tidak ditangani dengan
lebih lanjut keadaan emak akan semakin parah.
Aku memasrahkan sepenuhnya pada pihak
rumah sakit tetapi karena penuhnya ruang perawatan serta tidak lengkapnya peralatan
untuk menangani penyakit emak di rumah sakit tersebut, aku pun diminta untuk
mencari rumah sakit yang lebih lengkap agar penyakit emak dapat ditangani lebih
baik lagi.
Aku mulai ragu dan berprasangka, jika
akupun membawa ke rumah sakit besar bisa jadi merekapun akan mengatakan bahwa
di rumah sakit yang akan ku datangipun akan mengatakan hal yang sama. Mengingat
aku hanya berbekal Jamkesmas, rasanya sulit untuk dapat diterima oleh rumah
sakit besar apalagi bila melihat kondisi penyakit emak yang tentunya
membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Akhirnya untuk sementara ku bawa emak
pulang ke rumah, sambil terus ku coba berikhtiar untuk mencari uang pinjaman
kebeberapa teman dan saudara. Tetapi siapa yang akan memberi pinjaman kepadaku,
untuk makanpun sangat sulit bila mereka meminjamkan uangpun dari mana aku harus
membayarnya.
Semakin hari kondisi emak makin parah
dan aku tak tega melihat kondisi emak. Entah datang dari mana fikiran tak
sehatku pun mulai menari-nari diotakku yang tak cerdas ini.
Malam itu ku datangi sebuah rumah
pedagang kaya, aku tahu haji Rodiah yang kaya raya tersebut banyak memiliki emas,
emas yang dipakai ditubuhnya saja sudah seperti toko emas berjalan dan aku
perkirakan emas yang ada di rumahnyapun masih banyak tersimpan.
Tak sulit aku untuk memasuki rumah
haji Rodiah karena aku hapal betul seluk beluk rumah tersebut. Ku lihat haji
Rodiah tertidur dengan pulas diranjangnya yang empuk dan ruangan ber-AC pula,
aku tak ingin sampai haji Rodiah tahu perbuatanku dan tanpa ragu ku bekap
bagian mukanya, haji Rodiah mulai meronta tetapi dia tidak dapat mengeluarkan
suara apapun.
Malam itu begitu sunyi, ku genggam
dengan erat hasil rampokanku malam ini. Sekantung perhiasan emas murni telah ku
gondol dari rumah haji Rodiah. Aku berjanji esok pagi akan ku bawa emak ke
rumah sakit agar dapat menangani penyakit yang saat ini emak derita.
Aku bahagia, emak dapat ditangani
dengan baik oleh dokter terbaik pula. Dan ku tinggalkan emak pada pengawasan
dan perawatan rumah sakit, aku katakan pada eemak bahwa aku harus bekerja agar
dapat mengumpulkan uang kembali untuk perawatan emak di rumah sakit.
Dengan senyumnya yang sangat tulus,
emak mencium keningku dan mendoakanku agar menjadi anak yang soleh.
Hari itu ku mantapkan langkahku, aku
harus mempertanggung jawabkan semua perbuatanku dan di kantor polisi aku akui
semua perbuatanku terhadap haji Rodiah.
Vonis atas perbuatanku adalah 10
tahun penjara, waktu yang sangat lama untuk diam dibalik jeruji besi ini.
Hari ini aku mendapat kunjungan dari
salah seorang rekan kerjaku di pangkalan batu, dia menceritakan kondisi emak
semakin parah dan terus menanyakan keberadaanku.
Rasa bersalah dan rindu menjadi satu,
apa yang harus ku lakukan agar dapat melihat kondisi emakku?. Entah memang
kontrol dan penjaga dari lembaga pemasyarakatan itu kurang ketat atau memang
sedang lengah atau mungkin Tuhan memberiku jalan untuk bertemu dengan emak.
Akhirnya aku berhasil meloloskan diri dari lembaga pemasyarakatan dimana aku
ditahan untuk menjalani hukumanku.
Ku peluk dan ku cium emakku yang
sudah tak sadarkan diri, ku genggam erat tangannya yang kurus dan lemah. Ku bisikkan
kata pada emak, “Emak, Rohim datang..Rohim mohon ampunan dari emak...besok hari
lebaran, Rohim bawakan kain baru untuk emak”. Entah emak mendengar atau tidak,
terlihat titik air mata disudut mata emak dan masih ku rasakan genggaman erat
tangan emak dijemariku.
Kumandang takbir terus bergema,
Allahu akbar...Allahu akbar..Walilahilham...semakin bersahutan terdengar
disetiap penjuru masjid. Semakin ku peluk erat tubuh emak yang mulai mendingin.
Ya Tuhan ampuni aku...emak, maafkan
anakmu ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar