Kisah Seorang Sahabat : “Tangisku Hanya Milik Allah”
“TANGISKU HANYA MILIK ALLAH”
Kisah
hidupku tak seindah senyum manisku. Semua mengatakan bahwa aku wanita
yang paling bahagia. Tak pernah ku tolak itu semua karena memang aku
bahagia. Bahagiakah aku? Entahlah aku pun sulit untuk menjawabnya. Tapi
betul aku tidak pernah terlihat sedih, aku selalu tersenyum. Tap pernah
ku perlihatkan bahwa aku memiliki segudang masalah dalam hidupku.
Awal
pernikahan kami, aku dan calon suamku berkomitmen bahwa saat mengarungi
bahtera pernikahan kami dan salah satu dari kami mencintai WIL ataupun
PIL, maka kami harus berterus terang, jujur dan tentunya sepakat untuk
berpisah. Walau pada saat itu calon suamiku mengatakan bahwa tak ada
yang bisa menggantikan posisiku dihatinya. Tapi aku mohon bahwa
kejujuran itu indah walaupun menyakitkan.
Akhirnya
kami menikah dengan restu kedua belah pihak. Pernikahan kami, kami
lalui dengan rasa syukur akhirnya cinta kami berakhir di pelaminan. Pada
saat pesta pernikahanku ada kejanggalan yang ku rasakan pada suamiku,
saat ada seorang wanita yang memberi ucapan selamat pada dia, ku lihat
dia seperti menyembunyikan sesuatu (perasaan kewanitaanku mengatakan)
tapi ku coba menepis itu semua.
Tibalah
saatnya aku harus bertemu dengan keluarga besar keluarga dari suamiku,
setelah satu minggu pernikahan kami. Aku sangat bahagia menjadi bagian
dari keluarga besar suamiku. Kebiasan pada umumnya di masyarakat kami
pada hari itu disebut dengan “Ngunduh mantu”. Semua persiapan sudah
dilakukan untuk acara ngunduh mantu mulai dari kue-kue tradisional,
makanan-makanan untuk para tamu sampai dengan ranjang pengantin kami
semua sudah dipersiapkan. Sebagai layaknya para wanita yang lain aku pun
dengan gesitnya ikut membantu persiapan untuk acara “Ngunduh Mantu”
tersebut. Sambil aku membantu semua persiapan, aku heran ada wanita yang
sama saat pernikahan ku datang pula di acara “Ngunduh Mantu” itu, saat
dia datangpun sudah disambut dengan amat suka citanya oleh mertua
perempuanku beserta keluarga besarnya. Aku menanyakan tentang keberadaan
dia dan mertuaku menjelaskan bahwa dia adalah keluarga suami ku juga
karena aku yang pandai menghapal setiap susunan keluarganya lalu aku
menayakan keluarga dari pihak manakah dia. Mertuaku menjawab dengan agak
terbata, tapi aku kembali menepis setiap prasangka yang ada dalam
fikiranku.
Persiapan
ngunduh mantu itu diwarnai dengan canda tawa kami, begitu pula dengan
suamiku dan perempuan itu, mereka becanda berdua seakan mereka sepasang
kekasih. Kecurigaanku semakin ku tekan sampai…
Subhanallah..aku
menemukan suamiku sedang berpelukan dengan perempuan itu di ranjang
pengantin kami, aku terkejut tapi ku tekan perasaan ku karena saat itu
adalah awal dari perkenalan dengan keluarga besarnya. Aku kecewa tapi aku tidak menangis aku tetap tersenyum bahwa suamiku tetap milikku.
Larut
telah tiba, saat perempuan itu akan pulang yang rumahnya sedikit jauh
dari rumah mertuaku, mertuaku meminta suamiku untuk mengantarnya pulang
tapi karena aku masih baru sebagai anggota keluarga tersebut, aku tidak
protes. Ku biarkan walau sakit rasanya.
Sampai
beberapa hari ke depan perempuan itu masih selalu berada di rumah
mertuaku, entah pagi, kadang sore atau kadang malam. Kecurigaanku
semakin mendekati titik kebenaran sampai akhirnya ku temukan kembali
suamuku sedang berdua dengan dia. Aku tetap diam tapi ku layangkan
protes pada mertuaku. Aku katakan pada mertuaku bahwa aku tidak suka ada
perempuan itu di rumah ini walau aku tahu ini bukan rumahku tapi aku
berhak untuk meminta perempuan itu tidak ada disini karena setelah aku
desak mertuaku, dia bercerita bahwa perempuan itu adalah mantan tunangan
dari suamiku. Tidak ada kejelasan yang pasti mengapa mereka tidak jadi
menikah malah menikah denganku. Tapi yang pasti mereka sudah menganggap
bahwa perempuan itu adalah anaknya juga. Lalu ku pertanyakan apakah
selama ini aku tidak dianggap anak oleh mereka yang sudah menikah dengan
anaknya? Aku katakan pada mertuaku bahwa aku sudah menikah dengan
anaknya dan saat ini aku adalah istri dari anak mereka dan aku
berkewajiban untuk mempertahankan rumah tanggaku dari gangguan-gangguan
yang tak menyenangkan. Dan tak akan ku pertahankan dia (suamiku bila
kami masih belum menikah). Akhirnya mertua dan suamiku menerima semua
kata-kataku.
Setahun
setelah pernikahan kami akhirnya aku melahirkan bayi yang cantik dari
pernikahan kami, kami lalui tanpa ada rintangan yang berarti. Masa-masa
tahun keempat dalam pernikahan kami kembali aku diguncang dengan prahara
lain. Suamiku kembali dekat dengan seorang perempuan teman kuliah kami
dulu. Padahal waktu itu aku sedang hamil sembilan
bulan. Aku menemukan suamiku sedang berpelukan dengan teman kami itu,
walau dia mengelak bahwa tidak ada hubungan apa-apa tapi gelagat mereka
berbeda, dia mulai jarang pulang dan selalu ke rumah teman kami dengan
alasan bahwa dia butuh pertolongan, padahal aku pada saat itu sedang
hamil besar dan butuh kasih-sayang, perlindungan dan bantuan dari dia,
bukan perempuan itu.
Aku
meminta suamiku untuk kembali padaku dan akhirnya dia pun berjanji
untuk kembali pada ku dan saat itu dia berjanji atas nama Allah, Rasul
diatas al-quran bahwa sampai kapanpun tidak akan mengkhianatiku dan bila
dia sampai mengkhianatiku dia berani termakan oleh sumpahnya.
Akhirnya
aku melahirkan seorang bayi laki-laki yang lucu.kamipun tetap menjalani
rutinitas kehidupan kami sampai akhirnya suamiku diterima menjadi PNS
disuatu tempat yang agak terpencil, aku diminta untuk mengikuti dia tapi
karena aku terbiasa hidup di kota rasanya aku sulit untuk mengikutinya.
Aku menunggu waktu satu tahun untuk bisa ikut dengan suamiku.
Kejanggalan sering terjadi, dia bercerita saat di daerah tidur di rumah
temannya. Tapi suatu saat anak kami sakit dan tentunya aku harus memberi
kabar suamiku. Tapi alangkah kecewanya aku ternyata suamiku tidak
pernah ada di rumah temannya, malah menurut dia beberapa hari ini tidak
masuk.
Sungguh
aku kecewa dan sedih tapi ku biarkan air mataku menjadi milikku
sendiri. Sampai dia datang kemudian aku tanyakan dia menginap dimana dia
katakan dia menginap di rumah teman. Apakah aku marah pada saat itu? Tidak aku hanya bilang Oh.
Akhirnya
karena banyaknya laporan tak indah ditelingaku, aku mengikuti jejak
suamiku untuk hijrah ke daerah. Di sini aku bahagia karena dekat terus
dengan suami dan anak-anakku dan aku berharap suamiku bisa menyadari
akan kesalahannya.
Aku
diperkenalkan dengan teman-teman rekan kerjanya, aku senang ada teman
baru di tempat ini. Tapi kembali naluri kewanitaanku berontak, dia dekat
salah satu orang rekan kerjanya, terlihat akrab yang sangat berbeda
tapi kembali ku usir perasaan itu.
Hari berganti, keganjilan itu semakin terlihat dan nyata. Aku banyak menemukan foto-foto “HOT” mereka tapi apakah aku menangis? Tidak,
aku hanya ambil foto itu dan ku bakar. Dia tidak pernah merasa
kehilangan sesuatu dihadapanku walau dia seringkali ku lihat
mencari-cari sesuatu. Sampai akhirnya akupun menemukan surat cintanya, apakah aku menangis? Tidak, kertas itu aku ambil dan ku simpan untuk mengumpulkan bukti-bukti perselingkuhannya.
Sampai
akhirnya suatu pagi aku kedatangan perempuan itu dan dia menceritakan
semua hubungannya dengan suamiku. Tentang perjalanan perselingkuhan
mereka dengan detil dia ceritakan. Apakah aku menangis saat itu? Tidak, aku
hanya katakan pada perempuan itu bahwa aku akan tanyakan tentang
kebenaran berita yang dia bawa, perempuan itu mengatakan bahwa dia akan
menikah dengan suamiku karena suamiku harus bertanggung jawab terhadap
apa yang sudah mereka lakukan bersama. Apakah aku menangis pada saat itu? Tidak, aku tidak menangis.
Aku
datangi rumah perempuan itu dan aku membawa anak-anakku yang masih
kecil. Aku katakan pada orang tuanya bahwa aku istri dari calon suami
anaknya dan aku meminta mereka untuk mengagalkan rencana pernikahan
suamiku dengan anaknya. Dan apakah aku menangis saat meminta suamiku pada orang tuany calon sitri suamiku? Tidak, aku tidak menangis.Aku
bersyukur suamiku tidak jadi menikah dengan dia dan dia kembali
bersumpah atas nama Allah, rasul dan Al-Quran bahwa dia tidak akan
mengkhianatiku sampai kapanpun, tidak akan jalan bersama lagi dengan
perempuan itu kalau sampai terjadi truk tronton berisi batu besar akan
menimpaku. Aku tidak pernah meminta dia untuk bersumpah tapi dia
melakukannya atas kehendak dirinya. Apakah aku percaya dengan kata-katanya? Ya, aku sangat-sangat percaya.
Tahun
berganti, akhirnya perempuan itu menikah dan aku bersyukur dengan
begitu tak ada lagi yang menggangguku. Aku kembali akrab dengan
perempuan itu dan perempuan itu sudah mulai kembali bermain di rumahku.
Aku anggap dia adikku karena lebih muda dariku. Tapi isu diluaran terus
berkembang bahwa banyak orang yang sering melihat suamiku dengan dia,
tapi aku tidak percaya karena dia sudah bersuami, mana mungkin dia
“jalan” kembali dengan suamiku. Isu itu semakin nyata dan menyakitkan,
sampai aku temukan suamiku sedang berciuman di kantornya dan aku melihat
langsung perbuatannya bukan kata orang lain yang selama ini santer
terdengar tentang perselingkuhan suamiku. Apakah pada saat itu aku marah? Apakah pada saat itu aku menjerit? Apakah pada saat itu aku mengamuk? Apakah pada saat itu aku menangis? TIDAK, aku TIDAK melakukan apapun dan aku tidak menangis. Aku hanya pergi begitu saja…..
Sudah
cukup semua pengkhianatan suamiku dan aku sudah tidak perduli lagi
dengan semuanya, aku hanya menyusun langkah-langkah hidupku dan
anak-anakku, bila dia kembali ke rumah aku bersyukur bahwa dia masih
mengingat kami. Bila dia tidak kembali ke rumah tidak menjadikan beban
untukku. Anak-anakku semakin besar, mereka tahu mana yang benar dan mana
yang salah, sampai akhirnya anakku mengetahui dengan detil semua
perselingkuhan ayahnya. Anakku menuntut aku untuk menyelesaikannya
karena dia tidak mau jadi bahan hinaan teman-temannya atas perbuatan
ayahnya.
Akhirnya
ku bongkar semua pengkhianatan suamiku selama ini padaku tapi apa yang
ku dapat? Aku diseret seperti anjing, rambutku dijambak dan kepalaku dia
bentur-benturkan diatas aspal, ditengah jalan aku diseret persis
seperti anjing beludak, kepalaku berdarah, pipiku lebab oleh pukulan dan
tendangannya, bibirku pecah dan tak ada satupun yang menolong aku,
semua rumah menutup pintu karena ancaman suamiku..”Siapa saja yang
berani menolong perempuan sundal ini akan aku bunuh”. Apakah ada yang menolong aku? Tidak,
sampai akhirnya ku kumpulkan seluruh kekuatanku untuk bisa lepas dari
genggamannya dan aku lari ke dalam rumah seorang teman, ku tutup rapat
pintu rumahnya dan aku memohon mereka untuk menolong aku. Aku memelas
pada mereka selamatkan aku agar aku bisa melihat anak-anakku.
Tuhan
menyentuh hati temanku dan dia berani menentang suamiku dengan
mengatakan bahwa dia akan lapor polisi bila sampai merusak rumahnya. Aku
diselamatkan oleh mereka dan setelah beberapa lama aku diminta untuk
kembali oleh RT dan RW serta sesepuhan masyarakat itu, aku didamaikan
dan suamiku berjanji untuk tidak melakukan perbuatannya kembali.
Akhirnya
aku kembali dengan suamiku masih dengan pengkhianatan yang sama, aku
mulai harus bisa berontak aku harus mampu memperjuangkan hidupku.
Apakah benar suamiku kembali padaku? Tidak, dia masih kembali dengan perempuan itu. Apakah aku menangis? Tidak.
Dari semua yang aku ceritakan, Apakah orang lain pernah melihatku menangis? Tidak, aku
selalu tersenyum dalam dukaku. Kemanakah air mataku? Air mataku hanya
milik Allah semata, Aku bercerita semua pada Allah tentang kesedihanku,
tentang deritaku, tentang penistaan terhadap diriku, tentang
pengkhianatan pada diriku. Karena aku milik Allah semua ku kembalikan
padanya.
Aku
tak peduli dengan kata-kata orang bahwa aku bodoh mau kembali pada
suami yang sudah memperlakukan istrinya seperti binatang dan
mengkhianatinya terus menerus.
Dari semua yang ku ceritakan di atas, apakah aku menyalahkan suamiku? Tidak. Apakah aku yang salah? Bisa jadi..
Dari semua kisah diatas, semoga menjadi pembelajaran untuk kita semua,
Aku mencintai suamiku walau dia mengkhianatiku..
Aku mencintai suamiku walau dia menyakitiku..
Aku mencintai suamiku walau dia menghinaku..
Aku mencintai suamiku walau dia menyiksaku..
Aku mencintai suamiku walau dia membenciku..
Haruskah aku menyesali semuanya? Tidak
Haruskah aku meninggalkannya? Tidak
Haruskah aku meratapi semua? Tidak
Aku adalah milik Allah, biarkan Allah yang menentukan hidupku.
Buat : Sahabat-sahabat..semoga yang mengalami seperti cerita
diatas, jangan bersedih ada Allah didekatmu. Hikz…jadi
nangis aku bacanya….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar